Suatu ketika, hiduplah seorang tua
yang bijak. Pada suatu pagi, datanglah seorang anak muda yang sedang dirundung
banyak masalah. Langkahnya gontai dan air mukanya ruwet. Tamu itu memang tampak
seperti orang yang tak bahagia.
Tanpa membuang waktu, orang itu
menceritakan semua masalahnya. Pak tua yang bijak, hanya mendengarnya dengan
seksama. Lalu ia menggambil segenggam garam, dan meminta tamunya untuk
mengambil segelas air. Ditaburkannya garam itu didalam gelas, lalu diaduknya
perlahan. “Coba minum ini, dan katakana bagaimana rasanya..”, ujar Pak tua itu.
“Pahit.. pahit sekali rasanya”, jawab
sang tamu, sambil meludah kesamping.
Pak tua itu sedikit tersenyum. Lalu
ia mengajak tamunya ini untuk berjalan ke tepi telaga didalam hutan didekat
tempat tinggalnya. Kedua orang itu berjalan berdampingan dan akhirnya sampailah mereka ke tepi telaga
yang tenang itu.
Pak tua itu lalu kembali menaburkan
segenggam garam, namun kali ini dia menaburkannya kedalam telaga itu. Dengan sepotong
kayu, dibuatnya gelombang mengaduk-aduk dan tercipta riak air, mengusik
ketenangan telaga itu. “Coba ambil air dari telaga ini dan minumlah!”, begitu
perintah Pak tua. Saat sang tamu itu selesai meminum air itu, Pak tua bertanya
lagi, “Bagaimana rasanya?”.
“Segar”, sahut tamunya. “Apakah
kamu merasakan garam di dalam air itu?”, tanya Pak tua lagi. “Tidak”, jawab si
anak muda.
hati yang besar membawa pribadi yang besar |
Dengan bijak, Pak tua itu
menepuk-nepuk punggung si anak muda tersebut. Ia lalu mengajaknya duduk
berhadapan, bersimpuh di samping telaga itu. “Anak muda dengarlah. Pahitnya
kehidupan adalah layaknya segenggam garam tersebut, tak lebih dan tak kurang.
Jumlah dan rasa pahit itu adalah sama, dan memang akan tetap sama. Tapi,
kepahitan yang kita rasakan akan sangat tergantung dari wadah yang kita miliki.
Kepahitan itu akan didasarkan dari tempat kita meletakan segalanya. Itu semua
akan tergantung pada hati kita. Jadi, saat kamu merasakan kepahitan dan
kegagalan dalam hidup, hanya ada satu hal yang bisa kamu lakukan. Lapangkanlah dadamu
menerima semuanya. Luaskanlah hatimu untuk menampung setiap kepahitan itu.”
Pak tua itu kembali memberi nasehat.
“Hatimu adalah wadah itu. Perasaanmu adalah tempat itu. Kalbumu adalah tempat
kamu menampung segalanya. Jadi, jangan jadikan hatimu seperti gelas, buatlah
laksana telaga yang mampu meredam setiap kepahitan itu dan merubahnya menjadi
kesegaran dan kebahagiaan”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar